KDRT adalah persoalan yang rumit untuk
dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh jadi, pelaku KDRT benar-benar
tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak
KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang
dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya
lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan
dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang
wajar dan pribadi .
Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga
atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui
perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para
aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen.
Di Indonesia, secara legal formal,
ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari
Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT.
Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang
sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan
internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa,
tindakan keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah
tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga
merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan
bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun
orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan
pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana,
undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara
dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan
hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya
perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah
tatanan keluarga atau rumah tangga.
Terobosan hukum lain yang juga penting
dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang
memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT
disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan
anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana
dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c)
orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga.
Identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan
domestik sempat mengundang kontraversi karena ada yang berpendapat
bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka relasi pekerjaan
(antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi
jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang
perburuhan di Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga
korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang
positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah
masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada,
kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana
Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak
ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus
pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak
diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang
kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga
kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Catatan tahunan komnas perempuan sejak
tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus
KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam
rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus.
Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704
kasus KDRT yang dilaporkan.
Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163
tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005,
22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap
Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun 2004
(lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka
KtP berkisar antara 9% - 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun
2007 11%.
KTP ini mayoritas ditempati menurut
ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Bahkan lonjakan tajam antara tahun 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005
(16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT
terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan
pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau
yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak berasal
dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di
Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur).
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT
yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat
tentang kekerasan khusunya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga
pada umumnya dan kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk
melaporkan kasus KDRT yang dialaminya,pada khususnya.
Banyaknya kasus yang dalam
perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih
karena banyaknya beban gender perempuam korban yang seringkali harus
ditanggung sendiri,, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat
menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi
yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, dab
cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit
mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ’berdosa’
jika menceritakan ’kejelekan, keburukan, atau aib’ suami membuat banyak
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam
berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
Perempuan korban menggapai keadilan
PA merupakan tempat rujukan terbanyak
perempuan korban KDRT menggantungkan keadilan, meskipun fakta KDRT
terbanyak tersembunyi dalam gugat cerai, para perempuan korban,
sehingga pengungkapan kekerasannya sendiri tidak terungkap. Dengan
demikian proses hukum KDRT itu sendiri tidak pernah berjalan. Kasus
KDRT terbanyak terdapat di PA yakni 41% dari 20.380 kasus. Ini
menunjukkan bahwa kasus gugat cerai di PA sebagian besar berkaitan
dengan kasus KDRT. Di PA ada 6.212 kasus penelantaran ekonomi dan 1.582
kasus kekerasan psikis. Dari jumlah kasus KDRT ini ada 17.772 kasus
terindentifikasi sebagai kekerasan terhadap isteri.
Sayangnya, sekalipun pengadilan agama
menjadi lembaga yang paling banyak menangani kasus KDRT (penelantaran
ekonomi dalam perkara gugat cerai) tetapi mereka tidak menggunakan UU
PKDRT sebagai acuan. Pemisahan antara perkara perdata (cerai) dan
pidana (KDRT) dalam sistem peradilan Indonesia ternyata tidak
menguntungkan kepentingan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan.
Dalam rangka memberikan layanan bagi perempuan korban KDRT diantara beberapa lembaya yang terlibat yakni pertama,
Women Crisis Center (WCC), atau organisasi perempuan penyedia layanan.
Setidaknya ada delapan macam pelayanan yang biasa diberikan WCC adalah
hotline, layanan konseling, support group, pendampingan hukum,
penyediaan rumah aman atau shelter, terapi psikologi, pelayanan medis,
dan penguatan ekonomi. Kedua, Rumah Sakit. Peran aktif RS
dalam memberikan layanan bagi perempuan korban kekerasan dikembangkan
oleh Komnas Perempuan dan RSCM Jakarta. Yang kemudian diadopsi
diberbagai lembaga kesehatan lainnya. Ketiga, Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (UUPA) adalah tindak lanjut dari Ruang Pelayanan
Khusus (RPK) yang dibentuk sejak tahun 1999 di Kepolisian, saat UUPA
menjadi unit tersendiri dalam struktur kepolisian berdasarkan Peraturan
Kapolri No 10/2007. Dan terakhir keempat, Kejaksaan yang
telah mengalokasikan dana secara rutin untuk menangani kasus KtP.
Lembaga ini juga mengintegrasikan jender sebagai salah satu bidang
pendidikan yang diajarkan kepada aparatnya.
Menuju Upaya Pemenuhan Hak-hak Korban
Harus diakui kehadiran UU PKDRT membuka
jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak
korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah privat yang tidak
seorang pun diluar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya. Lebih
kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam
perjalannnya UU ini masih ada beberapa pasal yang tidak menguntungkan
bagi perempuan korban kekerasanm. PP No 4 tahun 2006 tentang
Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan
mempermudah proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam
mandat UU ini.
Selain itu, walapun UU ini dimaksudkan
memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak
mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa
ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda dirasa terlalu ringan
bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban, bahkan lebih
menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur
dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau
bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses
penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu
upaya strategis diluar diri korban guna mendukung dan memberikan
perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang
menimpanya.
Komitmen Komnas Perempuan
Sebagai Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang independen, sesuai mandatnya
Komnas Perempuan memfokuskan diri pada upaya penghapusan kekerasan
terhadap perempuan serta upaya menciptakan suasana kondusif bagi
pemenuhan hak asasi perempuan, termasuk hak-hak perempuan korban
kekerasan, yaitu hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Untuk
mewujutkan mandatnya kmnas perempuan bekerja dengan membentuk 4 sub
komisi, yaitu sub komisi Reformasi Hukum,Sub Kom Pemulihan,Sukom
Pemantauan dan Sub Kom Litbang dan Pendidikan.
Komnas Perempuan dalam menjalankan
mandatnya bermitra kerja dengan institusi pemerintah, LSM,Organisasi
sosial dan budaya, organisasi agama dan PT di pusat maupun daerah,
regional maupun internasional.
Sub Kom Reformasi Hukum dan Kebijakan
pada periode 2007-2009 salah satu program kerjanya menjalin hubungan
dengan aparat penegak hukum dan organisasi kemasyakatan sipil
(Penguatan Penagak Hukum/PPH). Hasil dari kerjasama ini telah terwujud
dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) antara aparat penegak hukum
dan para advokat/pengacara.
Pada bulan November 2007, telah
terselenggara Pelatihan bagi Hakim Peradilan Agama dengan materi
KDRT. Pelatihan ini dimasudkan untuk mengembangkan bangunan
pengetahuan tentang KDRT, tidak hanya yang diatur dalam hukum nasional
(UU PKDRT), tetapi juga hukum Islam. Menangkap antusiasme permintaan
dari para hakim PA dalam pelatihan tersebut diatas, agar ada buku
Referensi bagi mereka tentang KDRT, maka Komnas Perempuan
menyelenggarakan workshop untuk penyusunan materi buku. Buku Referensi
ini telah dilaunching pada bulan Juli 2008 bersama Ketua Muda Urusan
Lingkungan Agama MA-RI dan Dirjen Badan Peradilan Agama MA-RI.
Keberadaan buku referensi ini nantinya diharapkan mampu memberikan
gambaran yang lebih komprehensif tentang KDRT bagi hakim PA, sebagai
tempat terakhir bagi kebanyakan perempuan korban menggapai keadilan dan
mengungkap kebenaran. Kerja-kerja ini akan terus dilanjutkan dan
dikembangkan dengan menggandeng kehakiman seperti pelatihan untuk para
hakim pengadilan negeri tentang KDRT, SPPT bagi pendamping korban,
pendataan kasus KDRT di kejaksaan, dan advokasi revisi KUHAP.
Hal lain yang menjadi harapan besar
bagi Komnas Perempuan sebagai upaya perlindungan terhadap korban yang
belum maksimal diberikan oleh negara, adalah keberadaan LPSK. Dengan
terpilihnya anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban usaha
perindungan sebagaimana yang tertera dalam UU PKDRT yakni segala upaya
yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan
oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan dapat segera terwujud. Sehingga terjadi
kerja-kerja sinergi dalam memenuhi hak-hak korban. Semoga.